Saturday, December 11, 2010

Sultan Adam

sultan-adam21
SULTAN ADAM AL-WATSIQ BILLAH DAN SYARIAT ISLAM DI TANAH BANJAR
Oleh Zulfa Jamalie
(Pengurus Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar)
“Janganlah kamu sekalian menyalahi pitua Mufti Haji Jamaluddin dan kalau ada orang yang menyimpang supaya dicegah atau melaporkannya kepada Sultan” (Pasal 31 UU Sultan Adam)
A. Pendahuluan
Selama lebih kurang 25 tahun masyarakat Banjar pernah hidup di bawah naungan syariat Islam, yakni ketika masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah (1825-1857) menetapkan berlakunya hukum Islam di seluruh wilayah kerajaan Banjar yang kemudian dinamakan dengan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). UUSA ditetapkan pada tahun 1835, dan kemudian dihapuskan secara sepihak oleh pemerintah Belanda pada tanggal 11 Juni 1860 seiring dengan proklamasi dihapuskannya kerajaan Islam Banjar.
Siapakah Sultan Adam? Bagaimana isi dari UUSA tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kejayaan sejarah Islam Banjar? Berikut ringkasan tulisan yang bersumber dari buku penulis berjudul “Perjuangan Tokoh Membumikan Islam di Tanah Banjar”.
B. Sultan Adam al-Watsiq Billah (1785-1857 M)
Sultan Adam adalah putra dari Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah bin Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah, ibunya bernama Nyai Intan Sari. Ia dilahirkan di Karang Intan pada tahun 1785, di mana pada waktu itu yang memerintah kerajaan Banjar adalah kakeknya, Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah bergelar Susuhunan Nata Alam (1761-1801 M).
Dalam catatan sejarah, kakeknya (Sultan Tahmidillah) inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) untuk menulis sebuah kitab fikih yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat Islam Banjar dalam menjalan ajaran agama dan peribadahan mereka. Oleh Syekh Muhammad Arsyad kemudian, permintaan sultan ini disambut baik dengan disusunnya kitab Sabil al-Muhtadin. Hal ini dapat kita baca dari ungkapan Syekh Muhammad Arsyad sendiri dalam mukaddimah kitab Sabil al-Muhatdin.
Kitab Sabil al-Muhtadin ini ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad mulai pada tahun 1779 M dan selesai pada tahun 1780 M, dicetak untuk pertama kalinya di Istambul (Turki). Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid I terdiri dari 252 halaman dan jilid II terdiri dari 272 halaman. Kitab rujukannya sebanyak 31 buah. Kitab ini hanya berbicara fikih ibadah, yang dimulai dari thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Pada jilid II dilengkapi dengan pembicaraan tentang akikah, korban, makanan yang halal dan haram, binatang sembelihan, binatang yang halal dan haram. Masalah yang menonjol yang tercantum pada jilid I yang erat dengan kondisi Kalimantan ada empat masalah: memakan anak wanyi, konsep jamban terapung di sungai, hukum membaca Alquran dengan suara yang nyaring sedang ada orang yang tidur, penentuan arah kiblat.
Pada jilid II ada sembilan masalah: hukum sembahyang berjamaah, hukum sembahyang di belakang penganut aliran wujudiah, haram membikin kubah di atas kuburan yang tanahnya adalah tanah wakaf, makruh lagi bid’ah menyajikan makanan kepada para pelayat, baik sebelum maupun sesudah mengubur, wajib mengubur mempergunakan tabela (peti mati), nisab emas yang bercampur dengan perak, zakat investasi, hukum haji dan umrah, halal dan haram binatang khas Kalimantan (M. Asywadie Syukur, 2003).
Sultan Adam mempunyai 5 orang saudara sekandung, yakni:
- Pangeran Mangkubumi Nata
- Ratu Haji Musa
- Pangeran Perbatasari
- Pangeran Hasir
- Pangeran Sungging Anum.
Sedangkan saudaranya sebapak berjumlah 13 orang, karena itu secara keseluruhan ia memiliki 18 orang saudara.
Sebagai seorang putra sultan (pangeran), sebagaimana kebiasaan berlaku, Sultan Adam hidup dan dididik dalam lingkungan istana. Di mana pada masa mudanya Sultan Adam sudah dikenal sebagai seorang yang rajin dan pandai. Ia banyak belajar dan menimba ilmu agama kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang pada waktu itu merupakan penasihat kerajaan, penasihat Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah hingga terus pada masa Sultan Sulaiman bin Sultan Tahmidillah (1801-1825 M). Berkat didikan dari Syekh Muhammad Arsyad inilah kelak kemudian Sultan Adam dikenal sebagai Sultan Banjar yang alim, dekat dengan ulama, dan memperjuangkan kejayaan Islam untuk kehidupan masyarakatnya. Perjuangan Sultan Adam ini mencapai puncaknya ketika ia menetapkan berlakunya syariat Islam di seluruh wilayah kerajaan Banjar, untuk mengatur kehidupan keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan kenegaraan negeri Banjar agar lebih baik dan menjunjung tinggi ajaran Islam.
Ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari wafat, umur Sultan Adam masih baru 27 tahun. Sehingga kemudian ia pun meneruskan pelajaran agamanya kepada Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad yang ketika itu diangkat menjabat mufti Kerajaan Banjar, hingga masa pemerintahan Sultan Adam.
Pada umur 25 tahun, Sultan Adam dikawinkan dengan Nyai Ratu Kumala Sari, dan dari perkawinannya ini dia memperoleh 7 orang anak, yakni:
- Ratu Serip Husin Darmakesuma
- Ratu Serip Kesuma Negara
- Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma
- Pangeran Asmail
- Pangeran Nuh Ratu Anum Mangkubumi
- Pangeran Prabu Anum
Kemudian Sultan Adam kawin lagi dengan beberapa orang wanita yang lain, dan masing-masing dari istrinya ini iapun juga memperoleh beberapa orang putra lagi, sehingga keseluruhan putra Sultan Adam berjumlah 11 orang.
- Dari istrinya yang bernama Nyai Endah mendapatkan anak bernama Pangeran Mataram
- Dari istrinya yang bernama Nyai Peah mendapatkan anak bernama Ratu Jantera Kesuma

- Dari istrinya yang bernama Nyai Peles mendapatkan anak bernama Pangeran Nasruddin
- Dari istrinya yang bernama Nyai Salamah mendapatkan anak bernama Ratu Ijah.
Sultan Adam adalah seorang yang cerdas, sehingga dalam usia yang relatif muda ia sudah sering diikutsertakan oleh ayahnya Sultan Sulaiman Saidullah dalam urusan-urusan kenegaraan, seperti keterlibatannya dalam perjanjian yang diadakan oleh Sultan Sulaiman dengan kompeni Belanda pada tanggal 12 Desember 1806, 1 Oktober 1812, dan 1 Januari 1817 M, di mana pada waktu itu Sultan Adam ikut menandatangani surat perjanjian dimaksud (Abdurrahman, 2001).
Keterlibatan Sultan Adam dalam urusan-urusan penting kenegaraan menjadi pelajaran dan pengalaman berharga baginya. Sehingga dengan pengalaman itu ia secara praktik dan teori telah mengerti banyak bagaimana mengatur urusan-urusan yang berhubungan dengan kenegaraan. Bekal inilah yang kemudian menjadikannya sebagai Sultan Banjar yang pandai dalam mengatur negara.
Di masa Sultan Adam, dalam susunan pemerintahan ada beberapa jabatan penting lainnya yang berfungsi dan bertugas untuk membantu sultan dalam mengelola urusan negara dan masyarakat, mereka terdiri dari:
- Mufti, hakim yang tertinggi, pengawas pengadilan umum
- Pengulu, hakim yang kebanyakan, mendapat piagam (cap) dari panambahan
- Lalawangan, kepala di dalam sebuah daerah
- Lurah, pembantu langsung Lalawangan dan bertugas untuk mengawasi pekerjaan beberapa orang Pembekal (kepala kampung). Dalam melaksanakan tugasnya, Lurah dibantu oleh Khalifah, Bilal, dan Kaum
- Pembekal, pangkat kehormatan untuk orang-orang yang terkemuka dan berjasa. Di antaranya juga yang jadi kepala dalam sebuah daerah mempunyai kekuasaan sama dengan Lalawangan
- Tatuha Kampung, orang yang terkemuka di dalam kampung, karena dapat penghargaan dari anak buah di kampung
- Panawakan, orang-orang yang menjadi suruhan raja atau kepala-kepala, dibebaskan dari segala pekerjaan negeri dan dari segala pembayaran pajak.
Di samping itu secara umum dalam mengatur pemerintahan dan urusan kenegaraan, baik berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang, hukum adat, maupun peraturan yang lainnya, sultan juga dibantu oleh keluarga raja, para pangeran, para gusti, para raden, kiai demang, nanang-nanang, yang berkedudukan sebagai pembantu kehormatan atau sebagai penyelenggara tetap dalam suatu urusan pemerintahan, misalnya urusan keprajuritan, perguruan, pemungutan cukai pajak, urusan sosial, perusahaan di laut, sungai, kehutanan, peternakan, upacara-upacara, dan lain-lain.
C. Undang-Undang Sultan Adam (UUSA)
Sejak Sultan Adam dikukuhkan sebagai Sultan Banjar pada tahun 1825 M menggantikan ayahnya Sultan Sulaiman atau Pangeran Nata Dilaga sampai akhir pemerintahannya pada tahun 1857 M, kondisi kehidupan rakyat Banjar relatif aman dan damai. Kalaupun ada gangguan, maka gangguan itu datangnya dari orang-orang Belanda, yang waktu itu sudah masuk ke daerah Banjar. Orang-orang Belanda datang ke Banjar membawa kebiasaan, adat-istiadat dan agama mereka sendiri. Kebiasaan dan agama yang berbeda membuat mereka sering terlibat konflik dengan orang Banjar. Itulah sebabnya untuk memperkokoh kesatuan kerajaan dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan kehidupan beragama masyarakat Banjar maka hal ini menjadi salah satu sebab mengapa Sultan Adam al-Watsiq Billah kemudian dengan dibantu oleh Mufti Haji Jamaluddin dan Pangeran Syarif Hussien membuat serta menetapkan berlakunya Undang-Undang Sultan Adam, di samping sebab-sebab lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai sultan yang keras dalam menjalankan dan dihormati oleh rakyatnya, dia juga seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam di kerajaan Banjar. Pendidikan agama yang dilakoninya sejak kecil dengan para ulama besar, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari maupun Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menghidupkan ruh, semangat, dan ghirah agama yang tinggi dalam jiwanya. Nilai-nilai rohani ajaran agama telah mengisi dan menyentuh relung hatinya, sehingga ketika ia menjabat sebagai Sultan Banjar kehidupan agama masyarakat Banjar menjadi prioritas utama pemerintahannya.
Dalam rangka untuk menangkal pengaruh asing, menjadikan kehidupan beragama masyarakat Banjar lebih baik dan sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dalam rangka pengembangan ajaran Islam, merupakan sebab-sebab penting yang melatar belakangi Sultan Adam membuat dan menetapkan suatu ketentuan yang mengatur kehidupan beragama, bernegara, dan bermasyarakat bagi rakyat di negeri Banjar, yang kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Inilah salah satu prestasi cemerlang Sultan Adam, dan telah membawa pengaruh yang positif terhadap kehidupan masyarakat Banjar ketika itu.
Undang-Undang Sultan Adam tersebut ditetapkan setelah ia menjabat sebagai Sultan Banjar selama lebih kurang 10 tahun, tepatnya pada hari Kamis, 15 Muharram 1251 H atau pada tahun 1835 M. Undang-Undang ini terdiri dari 38 Pasal, di antara materi pokok yang termaktub di dalamnya adalah:
1. Masalah-masalah yang berkenaan dengan keyakinan agama dan pelaksanaan ibadah/ajaran agama, hal ini dapat dilihat pada:
- Pasal 1 berkenaan dengan masalah keyakinan agama (i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah)
- Pasal 2 berkenaan dengan perintah untuk mendirikan langgar dan melaksanakan shalat fardhu berjamaah
- Pasal 20 berkenaan dengan kewajiban melihat awal dan akhir bulan Ramadhan untuk puasa, juga awal dan akhir bulan Dzulhijjah (bulan Haji)
2. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum tata pemerintahan, hal ini dapat dilihat pada:
- Pasal 3 dan 21 berkenaan dengan tugas dan kewajiban tetuha kampung
- Pasal 31 berkenaan dengan tugas dan kewajiban mereka yang diserahi jabatan sebagai Lurah dan Mantri-Mantri
3. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum pernikahan, hal ini dapat dilihat pada:
- Pasal 4 dan 5 yang menjelaskan tentang syarat-syarat nikah
- Pasal 6 menjelaskan tentang masalah perceraian
- Pasal 18 berkenaan dengan masalah perpisahan sementara antara suami-istri (barambangan)
- Pasal 25 dan 30 berkenaan dengan masalah dakwaan zina terhadap istri dan pembahasan tentang perbuatan zina
4. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum acara peradilan, hal ini dapat dilihat pada:
- Pasal 7 dan 8 yang berbicara mengenai tugas dan kewajiban mufti sebagai hakim tertinggi dalam pengadilan negara
- Pasal 9 berisi larangan bagi pihak-pihak yang berperkara untuk datang kepada pejabat
- Pasal 10 menjelaskan tentang tugas para hakim
- Pasal 11 menjelaskan tentang pelaksanaan putusan pengadilan
- Pasal 12 pengukuhan keputusan pengadilan terhadap sebuah perkara
- Pasal 13 menjelaskan tentang tugas dan kewajiban mereka yang diserahi jabatan sebagai Bilal dan Kaum
- Pasal 14 tentang surat dakwaan
- Pasal 15 menetapkan tenggang waktu terjadinya gugat-menggugat antara merela yang berperkara
- Pasal 19 larangan bagi para Raja (keluarga) atau Mantri-Mantri untuk ikut campur dalam urusan perdata, kecuali jika ada surat resmi dari hakim
5. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum dan pemanfaatan tanah, hal ini dapat dilihat pada:
- Pasal 17 tentang gadai tanah
- Pasal 23 dan 26 tentang masalah daluarsa
- Pasal 27 dan 28 tentang sewa tanah dan pengolahan tanah
- Pasal 29 tentang sikap menelantarkan tanah (tidak menggarap tanah).
Berdasarkan materi UUSA di atas, sangat terasa bagaimana semangat dan keinginan Sultan Adam yang kuat untuk membumikan ajaran Islam secara nyata di seluruh kawasan Negeri Banjar, bagi rakyatnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
D. Penutup
Setelah lebih kurang 32 tahun lamanya menjalankan roda pemerintahan dan menjadi Sultan yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya di Tanah Banjar, pada tanggal 4 Rabiul Awal 1274 H atau 1 Nopember 1857, Sultan Adam wafat dalam usia 72 tahun dan dikuburkan di komplek pemakaman Kampung Jawa Martapura.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasir, Pengantar Ilmu Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al-Ikhlas, Surabaya, t.th.
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
Basuni, Ahmad, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.
Bondan, Kiai Amir Hasan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1953.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar Martapura, 1996.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.
Haderani. HN, Durrun Nafis Permata yang Indah, Al-Ikhlas, Surabaya, 1999.
Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
Humaidy, “Tragedi Datu Abulung: Manipulasi Kuasa Atas Agama”, Kandil, edisi 2 Tahun I, September 2003.
Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terjemahan. S. Gunawan, Jakarta: Bhratara, 1973.
Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001.
Mansyur, M. Laily, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Banjarmasin: Hasanu, t.th.
Marwan, Muhammad, Manakib Datu Suban dan Para Datu, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.
———, Manaqib Datu Sanggul, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.
Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam Ulama Banjar, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2003.
Maskuri, M. Ilham, “Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan” (Tinjauan Sejarah Pembaharuan Wacana Relegio-Intelektual), makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Permono, Sjechul Hadi, “Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam”, Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991.
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa Mencerahkan Pikiran, Khazanah Populer Paramadina, Jakarta, 2004.
Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981.
Saleh, M. Idwar, Sejarah Bandjarmasin, KPPK Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958.
Sasono, Adi dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000.
Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
Syukur, M. Asywadie, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic References in the Malay World”, Makalah Seminar, tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam.
Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Cerita Rakyat Kalimantan Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1981.
Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kalimantan Selatan”, Makalah Seminar, tanggal 11 Oktober 2002, LK3 dan Serambi Ummah. Banjarmasin Post.
Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin.
Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13 H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com